Selasa, 26 April 2011

HILANGNYA HARAPAN "part 4"



Sudah setahun setengah Diaz pergi ke London tanpa kabar sedikit pun kepada Maurin, seperti yang diinginkan Maurin, Diaz mencoba membuka hati kepada seseorang tapi tetap tidak bisa ia lakukan, dihatinya hanya Maurin seorang. Tapi Diaz mencoba menikmati hidupnya di London, berkumpul dengan teman – teman, tertawa, mengerjakan esai, hang out. Berbeda dengan Maurin semakin hari kondisinya semakin memburuk. Rahasia yang selama ini ia simpan rapat – rapat akhirnya diketahui juga akibat Maurin mendadak pingsan di depan pintu kamarnya, hal itu disaksikan langsung oleh orang tuanya. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Maurin pingsan, tetapi kini Maurin di larikan ke Rumah Sakit. Ayah, ibu, Reza, dan sahabat- sahabatnya mengelilingi pembaringan Maurin.
                “Sejak kapan kamu tahu penyakit Maurin, Reza ?”  Pak Andra begitu terpukul hingga memarahi putra sulungnya itu. Denispun menceritakan semuanya kepada ayahnya tentang apa yang dialami  Maurin sementara ibunya hanya memandang lemas putrinya sambil menangis dan sesekali memanggil nama Maurin. Sejak kejadian itulah penyakit Maurin diketahui oleh keluarga besarnya dan sahabat -sahabatnya, kecuali Diaz.
                “Tuhan..sungguh berat cobaan yang dialami hambamu ini. Apa mungkin aku masih bisa membahagiakan orang – orang yang aku sayangi. Apa mungkin Engkau memberiku waktu untuk membahagiakan mereka ? Sungguh Tuhan, sangat berat bagiku untuk meninggalkan semua orang yang menyayangiku. Aku ingin bisa bersama mereka selamanya Tuhan walau kutahu itu semua tak mungkin terjadi. Tuhan tapi jika memang Kau menginginkan ku meninggalkan mereka, bantulah aku agar tidak banyak orang yang bersedih melihat kepergianku.” Gumam Maurin sambil menangis di tepi pantai, malam itu Maurin memang sengaja datang ke pantai bersama Arya sepupunya yang hanya melihat dari kejauhan.
   Kini semakin hari kondisi Maurin memburuk, ia sering mengalami koma di Rumah Sakit. Akhirnya dengan persetujuan keluarga dan dokter, Maurin dirujuk ke Amerika Serikat untuk melakukan pengobatan. Sangat sulit bagi Maurin untuk meninggalkan tanah air yang artinya ia harus meninggalkan sahabat- sahabatnya yang selalu mendukungnya. Tetapi karena ia menyayangi keluarganya, akhirnya Maurin setuju untuk pergi ke Amerika.
***
ENAM BULAN KEMUDIAN.
Di bandara Soekarno Hatta, terlihat seorang laki – laki tampan, berbadan tegap, rambut agak berantakan, menggunakan polo shirt, jaket, jeans dan sneakers. Gayanya masih sama dengan waktu dulu ia meninggalkan tanah air. Iya. DIAZ.
“DIAZ..” seorang perempuan memanggilnya. Lalu Diaz tersenyum dengannya dan menghampirinya.
“ Hai..long time no see. Kangen banget sama Indo.” Ucap Diaz
“ Kamu sih, Di. Di London, tapi gak mau balik ke Indo.” Jawab perempuan itu.
“ Hahaha. Iya nih. Oh iya, itu siapa cher ?” Diaz bertanya pada perempuan bernama Chery, sahabat Maurin.
“Oh ini, kenalin ini Arya, pacar aku, mmhh, sepupunya Maurin.” Mendengar nama Maurin, Diaz tertegun sejenak, perempuan yang menginginkannya untuk dilupakan, tapi tak pernah berhasil bagi Diaz. Jauh di lubuk hati Diaz, ia sangat merindukan perempuan itu.
“Hai, Arya.”
“Oh, hai, Diaz.” Mereka berduapun berjabat tangan.
“Ngomong – ngomong soal Maurin, sekarang dia ada dimana ?” tanya Diaz. Chery dan Arya hanya berpandangan. Dan tidak memberi jawaban, Arya menyuruh Diaz untuk mengikuti mereka. Mereka bertiga kini ada di dalam mobil milik Arya, Arya segera melajukan mobilnya. Akhirnya mereka tiba di suatu tempat, lalu Chery bercerita.
“Selama ini Maurin mengidap leukimia. Setelah kamu pergi ke London, semakin hari kondisi Maurin semakin memburuk, ia sering mengalami koma di rumah sakit. Enam bulan yang lalu, Maurin dibawa ke Amerika Serikat untuk menjalani perawatan, baru 2 bulan Maurin di Amerika tapi dia pengin balik ke Indo, katanya dia kangen sama sahabat - sahabatnya. Seminggu sebelum dia balik ke Indo, setelah sholat Isya’ tiba – tiba Maurin pingsan, hidungnya berdarah, dia dilarikan ke rumah sakit. Empat jam dokter nanganin Maurin, tapi terlambat Maurin meninggal. Dia meninggal 4 bulan yang lalu. Belakangan diketahui kalau Maurin jarang minum obatnya dan jarang melakukan chemoteraphy.” Chery mengakhiri ceritanya dengan menangis. Lalu Arya memeluk Chery untuk menenangkannya. Sedangkan Diaz, sedari tadi ia mendengar chery bercerita sambil menangis dan memegang nisan Maurin. Kini benar – benar sakit hatinya mendapati orang yang sangat dia cintai meninggal. Orang yang sangat didambakannya selama ini. Walaupun Maurin pernah memintanya untuk melupakan Maurin, tapi tak pernah sedikitpun ia lakukan. Cinta yang besar terhadap Maurin masih akan selalu ada di hatinya. Ia menyesal karena dulu ia tidak mendesak Maurin untuk bercerita, hingga akhirnya seperti ini. Orang yang sangat ia sayangi meninggal karena kanker.
“Di, waktu Maurin di Amerika, dia nitipin ini buat kamu.” Arya menyerahkan sebuah amplop kepada Diaz. Surat dari Maurin untuk Diaz.
***
To : Diaz
Hai my prince, maaf ya, mungkin saat kamu terima surat ini aku udah ga ada. Beribu maaf Di yang mau aku ucapin ke kamu. Aku terlalu banyak berbohong sama kamu. Aku bohong sama kamu kalo aku sakit. Aku bohong saat kamu bilang kamu dapet beasiswa dan aku senang. Aku bohong kalo aku mutusin kamu karena long distance, Di. Maaf .
Aku Cuma mau yang terbaik untuk kamu ,Di. Kalau kamu tetep bersama aku, kamu pasti sedih saat tahu aku meninggal, aku gak mau ngelihat kamu nangis, Di. Gak akan sanggup aku kehilangan senyum kamu yang memberi semangat buat aku. Itu sebabnya saat aku putusin kamu, aku gak mengembalikan cincin yang kamu kasih, Di, karena itu aku simpan agar aku bisa selalu semangat melawan penyakit aku. Aku tahu, Di waktu itu aku maksa kamu untuk ngelupain aku. Dan aku juga tahu kamu belum bisa melupakan aku sampai sekarang kan..yeaah..aku tahu aku benar. Kan kamu pernah bilang sama aku kalau kekuatan cinta kita ga ada yang bisa nandingin, makanya saat aku gak pernah bisa melupakan kamu, aku tahu kamu juga ga akan bisa melupakan aku. Di, relain aku ya. Kali ini kamu harus benar – benar mencari perempuan lain karena udah gak mungkin untuk kita bersama lagi. Kamu tenang aja, aku akan bantu kamu dari surga untuk mendapatkan perempuan yang cocok untuk kamu. walaupun secara fisik kita gak bersama, tapi cinta aku akan selalu menemanimu di manapun kamu berada. Kalau kamu udah dapet pengganti yang cocok buat kamu, kamu janji ya harus kenalin ke aku.
Waktu itu aku pernah ngelukis pelangi hitam, Di. Lalu Kak Reza bilang, kak Reza percaya suatu saat akan ada matahari yang menggantikan pelangi hitam itu, dan aku mau matahari itu kamu, Di. Buat semua orang bahagia ya, Di. Termasuk aku. Maka suatu saat, aku mau kamu menyematkan cincin ini, ke seseorang yang akan mendampingi hidupmu. Lalu aku akan melihat kalian menikah, punya anak, punya cucu, bahkan punya cicit dari surga, Di. Satu hal yang gak aku ingin kamu lupain bahwa aku akan SELALU MENCINTAI KAMU.
GOOD BYE MY LOVELY

       Yang mencitaimu
Anggia Maurina Fansurainy
***
Selesai Diaz membaca surat itu, ia melihat di dalam amplop ada sebuah cincin. Cincin yang pernah ia berikan untuk Maurin. Dua tahun kemudian Diaz menemukan sesorang yang tepat untuknya, Amanda, perempuan baik, tinggi, cantik dan periang seperti Maurin. Diaz melamar Amanda di danau favorit Maurin. Ia melamarnya persis seperti sehari sebelum keberangkatannya ke London, saat ia memberikan cincin itu pada Maurin. Lalu seperti yang diinginkan Maurin, Diaz membawa Amanda ke makam Maurin. Hingga akhirnya mereka menikah.

HILANGNYA HARAPAN "part 3"


2 minggu kurang 1 hari. Diaz mengajak Maurin ke danau tempat kesukaan Maurin. Seperti biasa,  Diaz yang berbadan tinggi, tegap dengan kulit sawo matang,kini Diaz memakai polo shirt warna biru dengan jaket kulit, celana jeans, sepatu sneakers warna hitam dan model rambutnya yang sedikit berantakan. Gaya yang sangat disukai Maurin. Mereka berdua diam dengan tangan Diaz memeluk bahu Maurin. Maurin sibuk dengan pikirannya, namun tiba – tiba muncul berbagai kembang api di langit malam yang gelap itu. Begitu banyak kembang api yang memperlihatkan kecantikan perpaduannya di langit gelap itu. Lalu Diaz menggenggam tangan Maurin dan mengajaknya berjalan tidak jauh, lalu Maurin melihat sebuah meja bundar dan dua kursi dengan lilin diatasnya dan juga blackforest kesukaan Maurin dengan 2 gelas wine. Diaz pun menuntun Maurin untuk duduk di kursinya. Lalu Diaz menjentikkan jarinya dan datanglah seorang laki laki paruh baya memainkan biola, permainannya sungguh bagus dengan lagu lgu romantis yang ia gesekkan. Kemudian Diaz menggenggam tangan Maurin dan mengeluarkan sesuatu dari kantung jaketnya.
“Rin, aku mau kamu selalu pakai ini ya.” Kata Diaz sambil mengeluarkan sebuah cincin berlian yang sangat  indah dengan hiasan hati yang juga terbuat dari berlian dari dalam kotak lalu ia menyematkannya di jari manis Maurin.
“Di, ini... kenapa kamu kasih ini buat aku?” tanya Maurin dengan wajah yang masih shock dengan kejutan yang diberikan Diaz.
“Karena aku mau kamu tetap menjaga cinta aku, dan aku akan tetap menjaga cinta kamu, walau jarak memisahkan kita. Tapi cinta kita gak akan terpisah, Rin.” Kata – kata Diaz membuat Maurin menangis, segera Diaz merengkuh Maurin ke dalam pelukannya.
Keesokan harinya, Maurin mengantarkan Diaz ke bandara. Tapi entah kenapa Maurin dari tadi terlihat gelisah. Saat tiba di bandara, Maurin mencoba mengajak Diaz berbicara berdua.
“Ada apa, Rin ?”
“Mmmhh....” Maurin bingung mengatakannya
“Hey, Rin. Kenapa sih ? kamu takut aku ngingkari janji aku untuk ga ngeduain kamu? Hahaha. Rin kam..”
“Bukan ,Di. Tapi aku..aku..mau..mauu..” Maurin sulit melanjutkan perkataanya.
“ Mau apa ?” tanya Diaz penasaran.
“Aku mau putus sama kamu.” Kali ini kata – kata itu meluncur dengan lancar dari bibir Maurin dengan lirih. Namun walau lirih, Diaz bisa mendengarnya. Seketika segelas frapucino milik Diaz terjatuh.
“Apa, Rin ? Kamu bilang apa barusan? Putus ? kemarin kamu janji sama aku untuk tetap menjaga hubungan kita, tapi apa sekarang ? kamu bilang putus? Kenapa, Rin ? KENAPA ?” kata Diaz sambil menggoyangkan bahu Maurin. Terlihat sakit dan sedih di mata Diaz . maurin sendiri juga sakit saat mengucapkan hal itu.
“Aku gak bisa long distance sama kamu Diaz.” Kata Maurin sambil menahan air matanya.
“BOHONG. Pasti ada hal lain kan, Rin ? Apa ? Kamu udah bosen sama aku? Ada orang lain, Rin? Bener ada orang lain?” tuntut Diaz sambil mencengkram tangan Maurin.
“enggak, Di. Bener, gak ada orang lain. Aku Cuma gak sanggup aja, Di long distance sama kamu.” Jawab Maurin sambil menundukkan kepalanya. Kali ini Maurin tidak bisa menahan air matanya lagi.
“RIN, lihat aku. Kamu percaya kita tetap bisa jalani hubungan kita.” Maurin hanya menggelengkan kepala sambil menangis.
“Maurin, kenapa kamu lakukan ini, padahal kamu tahu aku sayng banget sama kamu. 3 tahun ,Rin. 3 tahun kita jalani hubungan kita. Dan kamu putusin gitu aja hanya karena aku terima beasiswa di London. Kalo dari kemarin kamu bilang, aku bisa tolak beasiswa itu. Bahkan sekarang aku bisa BATALKAN beasiswa itu, Rin.” Kata Diaz dengan nafas tersengal – sengal.
“Enggak, Di. Jangan. Aku mohon, kalo kamu sayang sama aku,kamu tetep berangkat ke London. Cari orang lain yang pantas mendapatkan kamu. Cari wanita lain. Kamu tampan, pintar, kaya, baik. Pasti banyak yang mau sama kamu, Di.”
“Tapi Cuma kamu yang berhasil memberi arti cinta dan kehidupan buat aku, Maurin. Jangan tinggalin aku. Apapun yang kamu minta akan aku kasih buat kamu asal kita nggak putus. Aku sangat mencintai kamu.”
“Maaf, Di.” Maurin mencoba untuk melepaskan genggaman tangannya dan beranjak pergi, saat ia beranjak pergi tangannya ditarik oleh Diaz dan direngkuh ke dalam pelukan Diaz.
“Aku mohon sama kamu ,Rin. Jangan tinggalin aku.” Kata Diaz sambil memeluk Maurin. Kini ia menangis, dapat Maurin rasakan air mata yang menetes di kepalanya.
“Maaf, Di. Maaf. Lupain aku” Lalu Maurin melepaskan pelukan Diaz dan berlari mencari taksi sambil terus menangis. Ini merupakan pukulan bagi Diaz, Maurin yang selama ini dia sayangi tiba – tiba memutuskannya. Seketika kakinya sudah tdak bisa menahan berat tubuhnya, ia pun jatuh terduduk di lantai bandara. Lalu ada sesorang yang memegang pundaknya dari belakang. Kak Reza.
“Diaz, terima aja apa keputusan Maurin. Aku yakin dia Cuma mau yang terbaik. Kamu pasti ingin tahu alasan dia sesungguhnya. Suatu saat kamu akan tahu Diaz. Cepatlah berangkat ke London. Maurin mau kamu menjadi orang yang hebat.”
***
2 hari setelah keberangkatan Diaz.
Tok tok tok. “Rin, kakak boleh masuk ya.” Lalu Reza membuka pintu kamar adiknya tersebut. Dan mendapati ia sedang melukis.
“lagi ngelukis apa, Rin ?”
“Pelangi. “
“Oh ya ? kok item sih ? pelangi kan biasanya warna warni ?”
“warna warni kalo nyimbolin kebahagiaan. Tapi ini beda, pelangi ini bagai kehidupan Maurin, kak. Awalnya Maurin bikin pelangi ini warna – warni, kayak hidup Maurin dulu, dulu sebelum vonis dokter menyatakan bahwa Maurin kena kanker, dulu Maurin bisa bahagia sama Diaz tanpa harus berfikir suatu saat aku akan pergi ninggalin Diaz ke tempat yang sangat jauh, ninggalin kakak, ninggalin kakak ipar aku kak Chintya, ninggalin keponakan aku yang masih bayi Reztya, ninggalin mama, ninggalin papa, ninggalin sahabat – sahabat aku, ninggalin semua kehidupan ini. Kini Maurin hanya berharap supaya Tuhan ga segera manggil Maurin. Sekarang kan hidup Maurin kayak pelangi ini, udah  ga ada harapan lagi.” Kata Maurin sambil meneteskan air mata.
“Rin, kakak yakin kok, suatu saat akan ada matahari yang menggantikan pelangi hitam itu.” Kata Reza menenangkan adiknya
“mustahil, kak.” Jawab Maurin sambil berdiri dan berjalan menuju balkon kamarnya. “Mustahil, kakak kan tahu, leukimia bukanlah penyakit yang mudah di sembuhkan. Bahkan 90 persen orang yang mengidap leukimia di seluruh dunia itu meninggal, kak. Dan mungkin Maurin salah satunya.”
“RIN. Kakak gak suka kamu ngomong kayak gitu.”
“It’s true kak.” Reza mendekati adiknya itu lalu memeluknya.
“Jangan bilang kayak gitu lagi ya. Kakak mau melihat Maurin yang ceria, Maurin yang semangat, Maurin yang pantang menyerah, Maurin yang kuat, Maurin yang bandel, Maurin yang penyayang, semuanya tentang kamu, Rin. Akan ada banyak orang yang selalu memberimu kasih sayang dan semangat. Jangan khawatir.”

bersambung....

HILANGNYA HARAPAN "part 2"


“Kak Reza, ngapain di kamar aku?” tanya Maurin yang baru saja keluar dari kamar mandi dan mendapati kakaknya duduk di kasur dengan wajah dingin.
“Ini obat apa, Rin ?” tanya kak Reza sambil berdiri dan memperlihatkan obat yang berada di kamar Maurin. Maurin kaget melihat kak Reza menemukan obat – obatannya. Tapi ia takut untuk bercerita kepada kak Reza, kak Reza juga seorang dokter maka Maurin tahu ia tidak akan bisa membohongi kakaknya. Ia hanya diam sambil menahan agar air matanya tidak jatuh.
“JAWAB KAK REZA, RIN ?” bentak kak Reza. “Ini punya kamukan?” lanjut Kak Reza. Maurin tidak menjawab, ia hanya menundukan kepalanya. Suasana hening sejenak.
“Sejak kapan kamu sakit, Rin ?” tanya kak Reza dengan nada normal.
“Sejak...” Maurin benar – benar menahan air matanya yang sudah berada di pelupuk matanya.
“Jujur sama kakak, Rin.”
“sepuluh bulan yang lalu, kak” kata Maurin lirih.
Kak Reza benar – benar shock mendengar ini semua. Ia kembali terduduk di kasur. Ia tak menyangka, Reza yang merupakan lulusan terbaik salah satu universitas terbaik di Jerman, tidak dapat menjaga adik semata wayangnya sehingga sang adik terkena kanker seperti ini.
“Kak, maafin Maurin kak. Maaf Maurin ga cerita sama kakak kalo Maurin sakit. Maafin Maurin, kak.” Kata Maurin sambil menangis dan berlutut kepada kakaknya.
“Mama sama Papa udah tau?” tanya Kak Reza
“Kak, Maurin mohon, jangan kasih tahu Mama sama Papa , kak. Maurin ga mau bikin mereka sedih, kak.” Pinta Maurin
“Kalau gitu besok kakak tunggu kamu di rumah sakit.”
“Buat apa, kak?”
“Kamu harus chemoteraphy, Rin. Besok pulang kuliah kakak tunggu kamu di RS.” Kata kak Reza sambil beranjak pergi. Maurin tidak dapat mengelak karena kak Reza sudah keluar dari kamarnya.tiap minggu Maurin rutin menjalani chemoteraphy tanpa sepengetahuan orang tuanya, bahkan Diaz juga tak tahu keadaan Maurin sebenarnya.
***
“Hallo, kenapa Di?” kata Maurin ketika Diaz meneleponnya
“Rin, tebak deh. Aku baru aja dapet apa ?” tanya Diaz dengan semangat.
“Mana aku tahu, Di. Aku kan belomketemu kamu dari tadi. Kenapa sih, seneng gitu?”
“Rin aku berhasil dapet beasiswa untuk melanjutkan study S2 aku di London, Rin. Aku seneng banget.”  Ucap Diaz sangat bahagia.
“. . . .”
“Rin, halo Rin. Kamu kok diem aja. Kamu ga suka aku dapet beasiswa ke London ?” tanya Diaz agak kecewa
“Ooh..ohh..enggak kok, Di. Aku juga seneng banget kamu bisa dapet beasiswa ke London. Selamat ya”
“Makasih Maurin sayang. “
“Berapa lama Di?”
“Mungkin 2 tahun, Rin.”
“Kapan kamu berangkat, Di?”
“2 minggu lagi, Rin.”
“Ooohh.”
“Rin , kamu gak usah khawatir ya. Walaupun aku ada di London, aku akan tetep sayang sama kamu. Kita akan tetep pertahanin hubungan kita. Pokoknya aku gak akan cari perempuan lain di sana karna aku udah punya perempuan yang paliing cantik dan palingg aku sayangi.” Kata Diaz seolah mengerti kekhawatiran Maurin.”
Tapi bukan itu yang aku khawatirkan, Di. Kata Maurin dalam hati
“Iya , Di. Udah dulu ya, Di. Aku mau tidur.” Kata Maurin dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
“Okedeh my princess. Good night, dear. Kiss for you.”
“Good night.”
Setelah mematikan teleponnya, entah mengapa tiba tiba air mata Maurin jatuh membasahi pipinya. Tuhan, apa ini yang harus aku lakukan ? aku mungkin gak akan sanggup. Bantu aku Tuhan. Aku mohon. Aku mohon. Kata Maurin dalam hati dan semakin menangis. 

bersambung...

HILANGNYA HARAPAN "part 1"


“Mbak Maurin, kok nangis, ada apa mbak ?” tanya seorang supir kepada majikannya.
“Gapapa kok, Pak. Udah sekarang pulang aja.” Perintah seorang perempuan yang tinggi dan cantik berumur 22 tahun kepada supirnya. Anggia maurina fansurainy, anak kedua dari seorang dokter bedah terkenal di Jakarta dan dokter anak. Ia memiliki materi yang sangat cukup, keluarga yang menyayanginya, sahabat yang baik, dan kekasih yang setia yang selalu ia harapkan agar kelak menjadi suaminya. Jalanan di Jakarta sedang lengang, tak berapa lama sebuah mobil jazz berwarna merah memasuki sebuah rumah mewah. Maurin segera turun dari mobilnya, keadaannya yang sedang kalut membuat ia lupa berterima kasih kepada supirnya yang biasanya tidak pernah ia lakukan.
“Dari hasil pemeriksaan 2 hari yang lalu, kamu dinyatakan positif terkena kanker darah atau biasa alih medis menyebut leukimia.. stadium 3.” Kata – kata dokter Arman tadi siang terus terngiang di kepala Maurin, perlahan air matanya menetes membasahi pipinya. Ia tak habis pikir ia akan menderita kanker seperti ini. Semua berawal dari 2 hari yang lalu ketika Maurin akan menemui papa nya di RS tapi papa nya sedang bearada di ruang operasi. Ketika hendak keluar dari RS, ia bertemu dengan dokter Arman, teman papa nya.
“Lhoh, Maurin. Udah lama oom ga ketemu sama kamu, lagi apa kamu kesini ?” tanya dokter Arman
“Iya oom. Aku tadi mau nemuin papa, tapi ternyata papa lagi di ruang operasi makanya aku mau pulang aja.” Jawab Maurin, namun tiba-tiba kepala Maurin terasa sangat sakit lalu ia merasakan cairan hangat turun dari hidungnya.
“Maurin, kamu kenapa ? hidung kamu berdarah gitu?”
“Gapapa kok oom, aku udah sering kayak gini.” Jawab Maurin sambil memegangi kepalanya
“Maurin lebih baik kamu ikut ke ruangan oom, biar oom periksa kamu dulu.” Maurin pun menuruti kata dokter Arman.
Hari terus berjalan, sikap Maurin lama kelamaan menjadi aneh dan ia berubah, Maurin jadi sering mengurung diri di kamar dan jarang keluar dari rumahnya yang besar dan mewah tetapi sepi. Ayahnya yang seorang dokter bedah membuatnya sangat sibuk, mamanya yang seorang dokter anak juga tak kalah sibuknya, hanya kak Reza yang telah memiliki keluarga kecil yang sesekali menemaninya di rumah. Maurin yang dulu sering berkumpul dengan sahabat – sahabatnya, sekarang jadi jarang bertemu dengan mereka. Bahkan ketika Diaz, sang kekasih menelfonnya ia jarang mengangkatnya. Terkadang ia hanya memainkan piano ataupun melukis di dalam rumahnya. Tak ada satu orangpun yang tahu apa yang ada dipikirannya, hanya Tuhan yang tahu.
Satu bulan telah berlalu, Maurin mulai bisa menerima keadaan ini. Ia pun mulai membuka diri lagi dengan sahabat – sahabatnya, Maurin lega karena sahabat-sahabatnya tidak terlalu menuntut alasannya sebulan yang lalu mengurung diri. Tapi tidak dengan Diaz, ia yakin ada sesuatu pada kekasihnya itu. Saat berada di sebuah danau tempat kesukaan Maurin, Diaz bertanya kepada Maurin.
“Rin, aku mau tanya sesuatu sama kamu, tapi jawab jujur ya.” Pinta Diaz
“Hhmmh... mau tanya apa, Di ? kata Maurin sambil memandang Diaz
“Sebulan terakhir ini, kamu ga bisa aku hubungi kenapa? Sahabat – sahabat kamu juga bilang kamu jarang datang saat mereka kumpul. Kamu kenapa, Rin?”
Aku gak mungkin bilang sama Diaz sekarang, enggak, aku ga bisa bicara sama Diaz. Kata Maurin dalam hati.
“Rin, kamu kenapa?”
“Aku gapapa kok, Di. Aku cuma pengen sendiri aja akhir – akhir ini.”
“Rin, jangan bohong sama aku kenapa sih ? jawab yang jujur, Rin.” Desak Diaz
“Diaz denger, aku ga kenapa – kenapa. Aku..aku Cuma masih sedih aja atas meninggalnya nenek.” Jawab Maurin
“Yaudahlah, tapi kamu jangan sedih terus gitu, Rin. Kamu harus ikhlasin nenek kamu.” Diaz kali ini tidak bisa apa –apa karena memang satu setengah bulan yang lalu nenek Maurin meninggal dan ia tahu betapa dekatnya Maurin dengan neneknya itu. Ia segera memeluk Maurin dan membiarkan Maurin menangis di pelukannya walaupun ia yakin ada hal lain yang disembunyikan Maurin.
Maaf, Diaz. Maaf.. maaf.. maaf.. aku udah bohong sama kamu tapi aku ga bisa kasih tau kamu sekarang apa yang terjadi sama aku,  karena aku sayang sama kamu, Di. Kata Maurin dalam hati.
“Di, apapun yang terjadi, kamu akan tetap sayang sama aku?” tanya Maurin pelan.
“Iya, Rin. Apapun yang terjadi sama kamu, aku akan selalu sayang kamu.” Jawab Diaz lalu mengecup kening Maurin.
“Sekarang kita pulang aja ya, kayaknya bentar lagi hujan, Rin.” Maurin hanya mengganggukan kepalanya.
Detik berganti detik, hari berganti hari, bulan berganti bulan. Maurin tetap menjalani chemoterapy tanpa diketahui siapapun, saat ia merasa pusing yang teramat ia akan segera ke kamar atau ke kamar mandi agar orang lain tidak tahu.
***
“Kak Reza, ngapain di kamar aku?” tanya Maurin yang baru saja keluar dari kamar mandi dan mendapati kakaknya duduk di kasur dengan wajah dingin.

bersambung....