Selasa, 26 April 2011

HILANGNYA HARAPAN "part 1"


“Mbak Maurin, kok nangis, ada apa mbak ?” tanya seorang supir kepada majikannya.
“Gapapa kok, Pak. Udah sekarang pulang aja.” Perintah seorang perempuan yang tinggi dan cantik berumur 22 tahun kepada supirnya. Anggia maurina fansurainy, anak kedua dari seorang dokter bedah terkenal di Jakarta dan dokter anak. Ia memiliki materi yang sangat cukup, keluarga yang menyayanginya, sahabat yang baik, dan kekasih yang setia yang selalu ia harapkan agar kelak menjadi suaminya. Jalanan di Jakarta sedang lengang, tak berapa lama sebuah mobil jazz berwarna merah memasuki sebuah rumah mewah. Maurin segera turun dari mobilnya, keadaannya yang sedang kalut membuat ia lupa berterima kasih kepada supirnya yang biasanya tidak pernah ia lakukan.
“Dari hasil pemeriksaan 2 hari yang lalu, kamu dinyatakan positif terkena kanker darah atau biasa alih medis menyebut leukimia.. stadium 3.” Kata – kata dokter Arman tadi siang terus terngiang di kepala Maurin, perlahan air matanya menetes membasahi pipinya. Ia tak habis pikir ia akan menderita kanker seperti ini. Semua berawal dari 2 hari yang lalu ketika Maurin akan menemui papa nya di RS tapi papa nya sedang bearada di ruang operasi. Ketika hendak keluar dari RS, ia bertemu dengan dokter Arman, teman papa nya.
“Lhoh, Maurin. Udah lama oom ga ketemu sama kamu, lagi apa kamu kesini ?” tanya dokter Arman
“Iya oom. Aku tadi mau nemuin papa, tapi ternyata papa lagi di ruang operasi makanya aku mau pulang aja.” Jawab Maurin, namun tiba-tiba kepala Maurin terasa sangat sakit lalu ia merasakan cairan hangat turun dari hidungnya.
“Maurin, kamu kenapa ? hidung kamu berdarah gitu?”
“Gapapa kok oom, aku udah sering kayak gini.” Jawab Maurin sambil memegangi kepalanya
“Maurin lebih baik kamu ikut ke ruangan oom, biar oom periksa kamu dulu.” Maurin pun menuruti kata dokter Arman.
Hari terus berjalan, sikap Maurin lama kelamaan menjadi aneh dan ia berubah, Maurin jadi sering mengurung diri di kamar dan jarang keluar dari rumahnya yang besar dan mewah tetapi sepi. Ayahnya yang seorang dokter bedah membuatnya sangat sibuk, mamanya yang seorang dokter anak juga tak kalah sibuknya, hanya kak Reza yang telah memiliki keluarga kecil yang sesekali menemaninya di rumah. Maurin yang dulu sering berkumpul dengan sahabat – sahabatnya, sekarang jadi jarang bertemu dengan mereka. Bahkan ketika Diaz, sang kekasih menelfonnya ia jarang mengangkatnya. Terkadang ia hanya memainkan piano ataupun melukis di dalam rumahnya. Tak ada satu orangpun yang tahu apa yang ada dipikirannya, hanya Tuhan yang tahu.
Satu bulan telah berlalu, Maurin mulai bisa menerima keadaan ini. Ia pun mulai membuka diri lagi dengan sahabat – sahabatnya, Maurin lega karena sahabat-sahabatnya tidak terlalu menuntut alasannya sebulan yang lalu mengurung diri. Tapi tidak dengan Diaz, ia yakin ada sesuatu pada kekasihnya itu. Saat berada di sebuah danau tempat kesukaan Maurin, Diaz bertanya kepada Maurin.
“Rin, aku mau tanya sesuatu sama kamu, tapi jawab jujur ya.” Pinta Diaz
“Hhmmh... mau tanya apa, Di ? kata Maurin sambil memandang Diaz
“Sebulan terakhir ini, kamu ga bisa aku hubungi kenapa? Sahabat – sahabat kamu juga bilang kamu jarang datang saat mereka kumpul. Kamu kenapa, Rin?”
Aku gak mungkin bilang sama Diaz sekarang, enggak, aku ga bisa bicara sama Diaz. Kata Maurin dalam hati.
“Rin, kamu kenapa?”
“Aku gapapa kok, Di. Aku cuma pengen sendiri aja akhir – akhir ini.”
“Rin, jangan bohong sama aku kenapa sih ? jawab yang jujur, Rin.” Desak Diaz
“Diaz denger, aku ga kenapa – kenapa. Aku..aku Cuma masih sedih aja atas meninggalnya nenek.” Jawab Maurin
“Yaudahlah, tapi kamu jangan sedih terus gitu, Rin. Kamu harus ikhlasin nenek kamu.” Diaz kali ini tidak bisa apa –apa karena memang satu setengah bulan yang lalu nenek Maurin meninggal dan ia tahu betapa dekatnya Maurin dengan neneknya itu. Ia segera memeluk Maurin dan membiarkan Maurin menangis di pelukannya walaupun ia yakin ada hal lain yang disembunyikan Maurin.
Maaf, Diaz. Maaf.. maaf.. maaf.. aku udah bohong sama kamu tapi aku ga bisa kasih tau kamu sekarang apa yang terjadi sama aku,  karena aku sayang sama kamu, Di. Kata Maurin dalam hati.
“Di, apapun yang terjadi, kamu akan tetap sayang sama aku?” tanya Maurin pelan.
“Iya, Rin. Apapun yang terjadi sama kamu, aku akan selalu sayang kamu.” Jawab Diaz lalu mengecup kening Maurin.
“Sekarang kita pulang aja ya, kayaknya bentar lagi hujan, Rin.” Maurin hanya mengganggukan kepalanya.
Detik berganti detik, hari berganti hari, bulan berganti bulan. Maurin tetap menjalani chemoterapy tanpa diketahui siapapun, saat ia merasa pusing yang teramat ia akan segera ke kamar atau ke kamar mandi agar orang lain tidak tahu.
***
“Kak Reza, ngapain di kamar aku?” tanya Maurin yang baru saja keluar dari kamar mandi dan mendapati kakaknya duduk di kasur dengan wajah dingin.

bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar