Selasa, 26 April 2011

HILANGNYA HARAPAN "part 3"


2 minggu kurang 1 hari. Diaz mengajak Maurin ke danau tempat kesukaan Maurin. Seperti biasa,  Diaz yang berbadan tinggi, tegap dengan kulit sawo matang,kini Diaz memakai polo shirt warna biru dengan jaket kulit, celana jeans, sepatu sneakers warna hitam dan model rambutnya yang sedikit berantakan. Gaya yang sangat disukai Maurin. Mereka berdua diam dengan tangan Diaz memeluk bahu Maurin. Maurin sibuk dengan pikirannya, namun tiba – tiba muncul berbagai kembang api di langit malam yang gelap itu. Begitu banyak kembang api yang memperlihatkan kecantikan perpaduannya di langit gelap itu. Lalu Diaz menggenggam tangan Maurin dan mengajaknya berjalan tidak jauh, lalu Maurin melihat sebuah meja bundar dan dua kursi dengan lilin diatasnya dan juga blackforest kesukaan Maurin dengan 2 gelas wine. Diaz pun menuntun Maurin untuk duduk di kursinya. Lalu Diaz menjentikkan jarinya dan datanglah seorang laki laki paruh baya memainkan biola, permainannya sungguh bagus dengan lagu lgu romantis yang ia gesekkan. Kemudian Diaz menggenggam tangan Maurin dan mengeluarkan sesuatu dari kantung jaketnya.
“Rin, aku mau kamu selalu pakai ini ya.” Kata Diaz sambil mengeluarkan sebuah cincin berlian yang sangat  indah dengan hiasan hati yang juga terbuat dari berlian dari dalam kotak lalu ia menyematkannya di jari manis Maurin.
“Di, ini... kenapa kamu kasih ini buat aku?” tanya Maurin dengan wajah yang masih shock dengan kejutan yang diberikan Diaz.
“Karena aku mau kamu tetap menjaga cinta aku, dan aku akan tetap menjaga cinta kamu, walau jarak memisahkan kita. Tapi cinta kita gak akan terpisah, Rin.” Kata – kata Diaz membuat Maurin menangis, segera Diaz merengkuh Maurin ke dalam pelukannya.
Keesokan harinya, Maurin mengantarkan Diaz ke bandara. Tapi entah kenapa Maurin dari tadi terlihat gelisah. Saat tiba di bandara, Maurin mencoba mengajak Diaz berbicara berdua.
“Ada apa, Rin ?”
“Mmmhh....” Maurin bingung mengatakannya
“Hey, Rin. Kenapa sih ? kamu takut aku ngingkari janji aku untuk ga ngeduain kamu? Hahaha. Rin kam..”
“Bukan ,Di. Tapi aku..aku..mau..mauu..” Maurin sulit melanjutkan perkataanya.
“ Mau apa ?” tanya Diaz penasaran.
“Aku mau putus sama kamu.” Kali ini kata – kata itu meluncur dengan lancar dari bibir Maurin dengan lirih. Namun walau lirih, Diaz bisa mendengarnya. Seketika segelas frapucino milik Diaz terjatuh.
“Apa, Rin ? Kamu bilang apa barusan? Putus ? kemarin kamu janji sama aku untuk tetap menjaga hubungan kita, tapi apa sekarang ? kamu bilang putus? Kenapa, Rin ? KENAPA ?” kata Diaz sambil menggoyangkan bahu Maurin. Terlihat sakit dan sedih di mata Diaz . maurin sendiri juga sakit saat mengucapkan hal itu.
“Aku gak bisa long distance sama kamu Diaz.” Kata Maurin sambil menahan air matanya.
“BOHONG. Pasti ada hal lain kan, Rin ? Apa ? Kamu udah bosen sama aku? Ada orang lain, Rin? Bener ada orang lain?” tuntut Diaz sambil mencengkram tangan Maurin.
“enggak, Di. Bener, gak ada orang lain. Aku Cuma gak sanggup aja, Di long distance sama kamu.” Jawab Maurin sambil menundukkan kepalanya. Kali ini Maurin tidak bisa menahan air matanya lagi.
“RIN, lihat aku. Kamu percaya kita tetap bisa jalani hubungan kita.” Maurin hanya menggelengkan kepala sambil menangis.
“Maurin, kenapa kamu lakukan ini, padahal kamu tahu aku sayng banget sama kamu. 3 tahun ,Rin. 3 tahun kita jalani hubungan kita. Dan kamu putusin gitu aja hanya karena aku terima beasiswa di London. Kalo dari kemarin kamu bilang, aku bisa tolak beasiswa itu. Bahkan sekarang aku bisa BATALKAN beasiswa itu, Rin.” Kata Diaz dengan nafas tersengal – sengal.
“Enggak, Di. Jangan. Aku mohon, kalo kamu sayang sama aku,kamu tetep berangkat ke London. Cari orang lain yang pantas mendapatkan kamu. Cari wanita lain. Kamu tampan, pintar, kaya, baik. Pasti banyak yang mau sama kamu, Di.”
“Tapi Cuma kamu yang berhasil memberi arti cinta dan kehidupan buat aku, Maurin. Jangan tinggalin aku. Apapun yang kamu minta akan aku kasih buat kamu asal kita nggak putus. Aku sangat mencintai kamu.”
“Maaf, Di.” Maurin mencoba untuk melepaskan genggaman tangannya dan beranjak pergi, saat ia beranjak pergi tangannya ditarik oleh Diaz dan direngkuh ke dalam pelukan Diaz.
“Aku mohon sama kamu ,Rin. Jangan tinggalin aku.” Kata Diaz sambil memeluk Maurin. Kini ia menangis, dapat Maurin rasakan air mata yang menetes di kepalanya.
“Maaf, Di. Maaf. Lupain aku” Lalu Maurin melepaskan pelukan Diaz dan berlari mencari taksi sambil terus menangis. Ini merupakan pukulan bagi Diaz, Maurin yang selama ini dia sayangi tiba – tiba memutuskannya. Seketika kakinya sudah tdak bisa menahan berat tubuhnya, ia pun jatuh terduduk di lantai bandara. Lalu ada sesorang yang memegang pundaknya dari belakang. Kak Reza.
“Diaz, terima aja apa keputusan Maurin. Aku yakin dia Cuma mau yang terbaik. Kamu pasti ingin tahu alasan dia sesungguhnya. Suatu saat kamu akan tahu Diaz. Cepatlah berangkat ke London. Maurin mau kamu menjadi orang yang hebat.”
***
2 hari setelah keberangkatan Diaz.
Tok tok tok. “Rin, kakak boleh masuk ya.” Lalu Reza membuka pintu kamar adiknya tersebut. Dan mendapati ia sedang melukis.
“lagi ngelukis apa, Rin ?”
“Pelangi. “
“Oh ya ? kok item sih ? pelangi kan biasanya warna warni ?”
“warna warni kalo nyimbolin kebahagiaan. Tapi ini beda, pelangi ini bagai kehidupan Maurin, kak. Awalnya Maurin bikin pelangi ini warna – warni, kayak hidup Maurin dulu, dulu sebelum vonis dokter menyatakan bahwa Maurin kena kanker, dulu Maurin bisa bahagia sama Diaz tanpa harus berfikir suatu saat aku akan pergi ninggalin Diaz ke tempat yang sangat jauh, ninggalin kakak, ninggalin kakak ipar aku kak Chintya, ninggalin keponakan aku yang masih bayi Reztya, ninggalin mama, ninggalin papa, ninggalin sahabat – sahabat aku, ninggalin semua kehidupan ini. Kini Maurin hanya berharap supaya Tuhan ga segera manggil Maurin. Sekarang kan hidup Maurin kayak pelangi ini, udah  ga ada harapan lagi.” Kata Maurin sambil meneteskan air mata.
“Rin, kakak yakin kok, suatu saat akan ada matahari yang menggantikan pelangi hitam itu.” Kata Reza menenangkan adiknya
“mustahil, kak.” Jawab Maurin sambil berdiri dan berjalan menuju balkon kamarnya. “Mustahil, kakak kan tahu, leukimia bukanlah penyakit yang mudah di sembuhkan. Bahkan 90 persen orang yang mengidap leukimia di seluruh dunia itu meninggal, kak. Dan mungkin Maurin salah satunya.”
“RIN. Kakak gak suka kamu ngomong kayak gitu.”
“It’s true kak.” Reza mendekati adiknya itu lalu memeluknya.
“Jangan bilang kayak gitu lagi ya. Kakak mau melihat Maurin yang ceria, Maurin yang semangat, Maurin yang pantang menyerah, Maurin yang kuat, Maurin yang bandel, Maurin yang penyayang, semuanya tentang kamu, Rin. Akan ada banyak orang yang selalu memberimu kasih sayang dan semangat. Jangan khawatir.”

bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar